Kunjungi Website kami di http://www.wartafokus.com

Senin, 28 Juni 2010

Pentingnya Ma'rifat Bagi Keutuhan Keluarga Sakinah



oleh :Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A.

Pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui olah pikir dan nalar (ilmu), dan pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin dan olah rasa (makrifah). Hidup ini akan tenang jika dituntun oleh kedua jenis pengetahuan itu. Ilmu bisa dipelajari di sekolah dan buku-buku, makrifah dipelajari melalui latihan langsung dan ketekunan dalam beribadah kepada Allah. Makrifah bisa dalam bentuk wahyu bagi para nabi, ilham bagi para wali, dan bagi kita disebut ta’lim. Alangkah beruntungnya kalau kita memiliki dua-duanya.

Kedua jenis pengetahuan itu akan kita hubungkan dengan pembinaan keluarga sakinah. Kenapa saya sering mengangkat soal keluarga atau rumah tangga? Ada kecenderungan rumah tangga umat Islam sekarang semakin longgar, sangat berbeda dengan rumah tangga orang tua kita dulu. Dengan segala kesederhanaannya, orang tua kita dulu bisa hidup rukun, setia, sejahtera lahir batin sampai mati. Tapi sekarang banyak rumah tangga yang tidak kurang apapun dari segi materi, harta berlimpah, rumah besar, kendaraan mewah, tapi rumah tangga mereka berantakan.

Mari kita semua introspeksi, kurang apa rumah tangga kita. Apa yang salah? Salah satu faktor rumah tangga itu sering gagal ialah karena hanya menggunakan bimbingan ilmu dan logika. Semua diukur dengan materi, dengan untung rugi, dengan angka-angka dan kepentingan-kepentingan. Tidak ada lagi cinta dalam pengertian yang sejati.

Allah Swt. banyak menyinggung dalam al-Quran mengenai pembinaan hidup pribadi dan keluarga. Kalau kita bandingkan komposisi tema-tema al-Quran, tema ini lebih banyak dibanding tema tentang ilmu pengetahuan. Quran itu bukan kitab ilmiah, bukan kitab teori. Baik dalam kisah para nabi maupun orang-orang terdahulu, dalam hukum-hukum, pada umumnya al-Quran itu mengatur tentang pribadi dan keluarga. Cara mengatur pribadi dan keluarga menurut al-Quran ialah dengan iman. Jika iman tidak lagi berfungsi menuntun pribadi dan keluarga, sudah tidak ada kepercayaan, maka itu awal kehancuran sebuah rumah tangga.

Saya melihat statistik yang ada di lembaga Pengadilan Agama, ternyata dalam empat tahun terakhir ini angka perceraian meningkat dua kali lipat. Yang menarik, perceraian itu 70 persen dilakukan oleh istri terhadap suaminya. Laki-laki pasif, tidak mau menceraikan bahkan sengaja menggantung. Yang seperti kebelet mau cerai adalah istri. Ini fenomena yang patut kita cermati, mengapa para istri sekarang berani menggugat cerai suaminya?

Jangan sampai kita terlalu egois. Menjadi orang tua modern sekarang ini, hanya mementingkan diri sendiri sementara anak-anak terabaikan. Pikirkan akibat perceraian, terutama bagi anak-anak. Kasihan kalau mereka harus menjadi anak yatim atau piatu. Anak itu butuh bimbingan. Masa gara-gara kepentingan sedikit saja cerai, lalu mencari bapak lain atau ibu lain. Ibu tiri atau bapak tiri tidak akan pernah sama dengan ibu bapak kandung. Ironisnya fenomena ini menjadi tontonan paling menarik di tivi-tivi kita. Apa yang dilakukan para selebritis kita, yang dengan mudahnya kawin cerai, sedikit banyak tentu mempengaruhi para penontonnya.

Tidak baik jika banyak orang mengenal pribadi anda, ibu-ibu dan bapak-bapak. Percuma banyak pengajian kalau perceraian di mana-mana. Bangunan masyarakat Islam itu adalah pribadi dan keluarga. Di pengadilan agama sekarang ini, hampir lebih banyak terjadi perceraian daripada perkawinan. Orang ada kecenderungan untuk tidak kawin, ikut-ikutan di Barat sana. Sudah umur 30-an masih ingin menikmati dunia kesendirian. Mohon maaf di antaranya juga ada yang kumpul kebo. Satu kebanggaan kalau dia mampu mencoba sekian lawan jenisnya. Masya Allah.

Pantas al-Quran dan hadis banyak bicara tentang keluarga. Mengapa banyak yang gagal? Terutama keluarga baru. Kalau yang sudah senior insya Allah tidak. Tapi kadang-kadang ada yang tidak mau ketinggalan. Sudah punya cucu masih bertengkar dan cerai.

Dulu yang mencarikan jodoh bagi anak itu orang tuanya, tapi hasilnya permanen. Sekarang cari pasangan sendiri, malah lebih banyak cerai. Secara logika memang benar, kemerdekaan menentukan pasangan hidup sendiri. Saya yang mau kawin masa orang tua intervensi. Tidak ada lagi kata berkah di situ. Jarang dulu itu pacaran. Sekarang pacaran bertahun-tahun, kawin di tanah suci, tapi tiga bulan kemudian cerai.

Kalau rumah tangga rusak maka umat akan rusak. Ini jangan dianggap persoalan enteng. Seandainya Rasulullah hidup, kecewa ia melihat umatnya. Dan mohon maaf di antara negara-negara Islam, Indonesia ini termasuk paling banyak angka perceraian. Sejak kapan bangsa ini seperti itu?

Ingat hadis nabi:

Artinya: Sesuatu yang halal tapi paling dibenci Allah ialah perceraian.

Tidak bisa logika membimbing rumah tangga. Kita sekarang ini krisis makrifat. Semua yang berbau logika saja diajarkan. Di sekolah, pelajaran agama hanya dua jam seminggu, mau dapat apa anak kita nanti. Yang di pesantren saja belum tentu berhasil apalagi kalau hanya dua jam. Sekolah telah gagal untuk mencipta manusia yang beradab.

Di negeri-negeri Barat, kesadaran akan hal ini telah melahirkan kecenderungan yang disebut home schooling. Anak tidak lagi belajar di sekolah formal, melainkan guru yang dipanggil ke rumah. Nanti pada saatnya anak itu ikut ujian penyetaraan. Di sana yang semacam ini sudah banyak.

Saya ingat di Amerika ada satu keluarga kulit hitam, ibunya mengeluarkan anaknya dari sekolah formal karena sekolah itu berubah bentuk seolah-olah menjadi sekolah kriminal. Seks bebas, narkoba, perjudian, sudah masuk ke sekolah. Menyekolahkan anak di sana sama artinya memasukkan anak kita ke dalam kejahatan. Dia sendiri sengaja mengambil master dalam bidang pendidikan demi mendidik anaknya. Dia bilang, “Saya lebih percaya saya mendidik anak saya sendiri daripada diserahkan kepada guru di sekolah.”

Hasilnya, anaknya menjadi anak yang cerdas dan sopan serta taat beragama, jauh dari pergaulan negatif yang mengarah pada kejahatan. Shalatnya rajin, dan dia lulus ujian SMP seperti anak-anak lain yang bersekolah.

Memang risikonya mahal. Di negeri kita mungkin belum perlu ekstrim seperti itu. Sistemnya sendiri harus dipadukan dengan lembaga pendidikan formal. Di sini guru masih kurang, di sana sudah banyak. Namun poin kita di sini ialah struktur keluarga harus diperbaiki. Kita krisis makrifat, pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin, kontemplasi, perenungan, zikir, ketenangan jiwa. Orang sekarang sibuk semua, begitu matanya melek langsung kerja. Tanpa pernah sedikit pun bersemedi di atas sajadahnya, berzikir. Seolah shalat lebih lama dan berzikir itu memboroskan waktu. Ini penyakit materialistik. Padahal makrifat bisa diperoleh melalui perpanjangan waktu shalat, perpanjangan duduk di atas sajadah. Coba rasakan. Di atas sajadah itu kadang-kadang ada pengetahuan yang kita peroleh tanpa guru, selain tentu saja ketenangan batin. Ketenangan sangat diperlukan dalam hidup yang penuh dengan kompetisi ini. Justru orang yang gagal itu tidak tenang menghadapi persoalan. Begitu ada informasi yang dia tidak inginkan, langsung meledak marah. Pasti orang yang suka marah seperti itu jarang menggunakan waktu untuk mengingat Allah, untuk berzikir, bermeditasi, tahannuts, kontemplasi, tafakur di atas sajadah. Orang yang suka marah meledak-ledak itu pasti tidak pernah shalat tahajud. Orang yang terbiasa shalat tahajud, shalat dhuha, pasti ada bedanya. Dia tidak gampang marah, dan kalaupun marah cepat istigfar. Kalau cekcok dalam rumah tangga tidak lekas bilang cerai.

Anak-anak itu banyak yang nakal sekarang ini karena tidak ada waktu dari ibunya dan bapaknya. Anak sekarang adalah anak pembantunya. Mereka lebih akrab terhadap pembantu ketimbang ibunya. Dia nangis kalau pengasuhnya pergi tapi tidak kalau ibunya pergi. Seperti inikah ajaran Islam?

Allah berfirman:

Artinya: Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. (QS. An-Nisâ [4]: 36)

Allah menyuruh kita berbuat baik kepada ibu bapak. Di sana dikatakan, bil wâlidayni (memakai ba), bukan lil wâlidayni (memakai lam). Huruf ba ini menunjukkan kedekatan, fisik maupun emosional. Anak yang bagaimana yang akan berbuat baik kepada ibu bapaknya? Ialah anak yang dibesarkan langsung oleh ibu bapaknya, bukan anak yang dibesarkan oleh baby sitter. Anak yang dibesarkan langsung akan merasakan kedekatan dengan ibu bapaknya. Beda kalau anak dibesarkan baby sitter, walaupun profesional, tidak akan sama.

Rumah tangga yang hanya dibimbing oleh logika akan mudah ribut. Baru penganten baru, ribut, pisah ranjang. Dibeberkan ke orang, tidak malu. Saya sering katakan urusan rumah tangga jangan mudah diceritakan pada sembarang orang. Itu bukan curhat, melainkan membeberkan aib rumah tangga. Apa untungnya. Curhatlah kepada orang yang pantas. Jangan curhat kepada provokator, bisa bubar rumah tangga.

Memang kalau persoalan sudah berat, istri sering dipukuli, disiksa, lebih baik cerai. Tapi kalau persoalan sepele, jangan mudah mengucapkan kata cerai. Terlalu egois menjadi orang tua modern sekarang. Tidak mau menjadikan anak kecilnya sebagai referensi. Kalau dibalik, kita jadi anak kecil, orang tua kita bubaran seperti itu, bagaimana perasaan kita. Sedih. Ini karena egonya masing-masing, anak menangis tidak miris hatinya. Orang tua bahkan menyandera anak, tidak boleh ditengok ibunya atau bapaknya. Kayak apa jadinya anak itu? Sekalipun harus cerai, anak jangan sampai korban. Apakah anak itu nantinya akan mendoakan orang tuanya? Yang ada malah mengutuk dalam hati. Cemburu hatinya. Anak itu nanti akan berkecil hati. Dia pun ingin punya ibu bapak yang bergandengan tangan seperti orang tua anak-anak lain, mengajaknya bercanda dan rekreasi.

Ingat, tidak ada orang yang sempurna. Walaupun keliling dunia, tidak ada laki-laki atau perempuan yang sempurna. Yang sempurna itu hanya ada di akhirat. Jadi terimalah keadaan pasangan masing-masing apa adanya.

Inilah pentingnya makrifat. Kalau tidak ada makrifat, individu rusak, keluarga rusak, masyarakat rusak, negara rusak. Coba lihat perpolitikan kita di tanah air. Di halaman pertama ada berita percekcokan pemimpin. Yang rugi siapa? Bangsa. Kenapa seperti itu? Krisis makrifah. Maka itu tasawuf menjadi penting. Di kegersangan Jakarta ini, untung ada tempat-tempat seperti masjid Sunda Kelapa, yang bisa memberikan setetes air di tengah padang pasir kehausan. Sejuk rasanya, pulang dari masjid, sekalipun menunggu bis lama, sampai di rumah enak tidur, lapang dadanya.

Al-Ghazali berkata, “Dunia adalah tempat orang-orang yang sakit, karena tidak ada di perut bumi kecuali orang-orang yang mati. Menurut pandangan sufi, tidak ada orang yang seratus persen sehat. Mungkin sehat badannya, jiwanya yang tidak sehat. Mungkin juga dua-duanya sakit. Orang-orang yang sakit hatinya lebih banyak daripada orang-orang yang sakit badannya. Para ulama adalah dokter-dokter sedangkan penguasa adalah pemimpin orang-orang yang sakit.”

Menurut al-Ghazali, penyakit hati lebih banyak daripada penyakit badan dengan tiga alasan. Pertama, orang yang sakit hatinya tidak tahu bahwa dia sedang sakit. Siapa yang sadar bahwa dirinya egois. Dia selalu menjustifikasi dirinya bahwa dia benar. Tidak ada orang yang sadar kalau dirinya itu pemarah. Tidak ada orang yang sadar kalau dirinya itu kikir. Logikanya yang main di situ. Tidak ada orang yang sadar kalau dirinya itu keras kepala. Dia melegitimasi dirinya sebagai orang yang baik. Inilah yang dikatakan al-Ghazali, bahwa orang yang sakit tidak tahu kalau dirinya sakit.

Kedua, akibat penyakit hati adalah dosa yang tidak dapat disaksikan di alam ini, sedangkan penyakit badan akibatnya dapat dirasakan. Akibat sakit gigi itu terasa sakitnya, tapi akibat penyakit hati itu sulit. Ketiga, penyakit hati adalah penyakit yang sulit diobati dan tidak ada dokternya yang spesialis. Ada penyakit hati yang cocok ke psikiater atau psikolog. Ada juga penyakit hati yang cocoknya ke guru spiritual. Tergantung. Yang paling tahu adalah dirinya sendiri. Penyakit yang seharusnya dibawa ke guru spiritual tetapi dibawa ke psikiater akan tambah menjadi-jadi. Atau sebaliknya, yang sakit fisiknya tapi larinya ke guru spiritual, tidak ada efeknya.

Sesungguhnya para dokter batin itu adalah para ulama. Tetapi mereka, kata al-Ghazali, juga telah sakit yang sangat berat pada saat-saat ini. Jadi bagaimana bisa menyembuhkan pasien kalau dokternya sendiri juga sakit. Dokter yang sakit itu, atau ulama su’, adalah ulama yang cinta dunia, mereka yang sering keluar masuk istana, menjual ayat kepada raja-raja zalim. Sesungguhnya penyakit yang membinasakan adalah cinta kepada dunia. Penyakit ini telah menguasai para dokter (ulama), dan mereka tidak mampu memperingatkannya kepada para makhluk.

Harapan dan doa adalah dua obat. Orang yang dikuasai ketakutan sehingga ia meninggalkan dunia dan dia memaksakan dirinya dengan sesuatu yang dia tidak mampu maka ketakutan itu dapat dihancurkan dengan menyebut harapan-harapan agar ia kembali. Intinya jangan putus asa. Kalau kita dikecewakan semua pihak, tidak ada lagi yang bisa dijadikan teladan, mari kita bangun kepercayaan diri sendiri. Orang yang terus-menerus berbuat dosa, dan berkeinginan bertobat, tetapi ia putus harapan karena dosa-dosa yang telah lakukan amat besar, maka ia diobati dengan harapan sehingga tobatnya dapat diterima.

Ulama-ulama salaf berkata, apabila seorang hamba berbuat dosa, maka malaikat yang ada di sebelah kanan (Rakib) memerintahkan malaikat yang di sebelah kiri agar mengangkat pena selama enam jam. Jika hamba itu bertobat sebelum masa enam jam itu dan mohon ampun, maka tidak ditulis dosa hamba itu. Jika ia tidak bertobat, maka ditulis dosa itu. Jadi malaikat Rakib ini adalah pembela kita.

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Kalau kejahatan dalam perencanaan, malaikat Atid belum menulis. Tapi kalau kebaikan yang direncanakan, malaikat Rakib langsung menulisnya.”

Kurang apa Tuhan itu baiknya terhadap kita. Dosa besar tapi masih dalam konsep, tidak dicatat. Tapi rencana besar yang amal saleh, langsung ditulis. Maka itu bertobatlah mumpung dosa itu masih panas, masih hangat. Jangan ditumpuk. Karena seperti noda di kaca akan lebih mudah dibersihkan kalau masih tipis, sedangkan kalau sudah tebal akan sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar