Kunjungi Website kami di http://www.wartafokus.com

Senin, 28 Juni 2010

Perceraian dalam tuntunan Al Qur'an

 H. Husein Hamid al-Atas

Tema yang akan kita bahas kali ini terkesan membuka peluang atau jalan bagi orang untuk melakukan perceraian. Sebenarnya tidak. Justru dengan tema ini, kita ingin menghindari sikap tergesa-gesa, ceroboh, menuruti emosi, yang biasa terjadi pada setiap kasus perceraian. Banyak rumah tangga yang yang seharusnya tidak mengalami perceraian, ternyata mengalami hal tersebut. Hal ini terjadi karena mereka tidak paham bagaimana tuntunan dan adab yang diajarkan al-Quran mengenai perceraian. Fenomena semacam ini sering saya temukan dari kasus orang-orang yang berkonsultasi kepada saya.

Sebagai satu contoh, banyak orang beranggapan bahwa apabila seorang suami sudah mengucapkan kata “cerai” kepada istrinya, maka jatuhlah cerai itu. Seorang lelaki, apabila dalam keadaan emosi, tidak sedikit yang mengeluarkan ungkapan, “Saya ceraikan kamu.” Apalagi dalam keadaan ekonomi seperti sekarang ini, kebutuhan hidup semakin sulit dan lapangan kerja susah, sementara harga barang semakin mahal dan tekanan hidup semakin berat, potensi terjadinya pertentangan dan keributan dalam rumah tangga amat besar. Bisa jadi kemarin malam suami istri masih bermesraan, tapi besoknya terjadi sedikit salah paham, bertengkar, dan akhirnya dalam keadaan emosi terucap kata cerai. Si suami beranggapan, begitu dia mengucapkan kata cerai, cerailah itu. Si istri pun beranggapan, begitu mendengarkan kata ini, langsung berkemas pulang. Akhirnya gara-gara hal sepele, keluarga hancur berantakan.

Bagaimana tuntunan al-Quran tentang masalah ini?

Islam telah mengatur mengenai perceraian ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Ketentuan Islam mengenai perceraian ini perlu disosialisasikan agar orang mengetahui bagaimana Allah Swt. menjelaskan adab dan tuntunan kepada mereka yang akan bercerai. Kalau aturan ini diikuti, mungkin 99 % perceraian bisa dikembalikan untuk bersatu.

Menurut al-Quran, seorang suami yang menceraikan istrinya pada masa suci dan istrinya sudah digauli, cerainya tidak sah. Begitu pula jika istrinya sedang masa haid, suami menceraikan, cerainya tidak jatuh. Agar perceraian dikatakan sah, perceraian itu harus dihadiri dua orang saksi laki-laki yang adil. Dua orang saksi ini tidak bisa diganti perempuan. Kenapa harus laki-laki? Karena perempuan sering mudah terbawa oleh emosi. Kalau dalam jual beli, satu laki-laki dua perempuan dapat dibenarkan, dalam masalah rumah tangga harus dua orang laki-laki.

Rumah tangga itu bukan permainan. Orang ingin menikah saja proses yang ditempuh cukup panjang, biaya yang dikeluarkan cukup banyak, panitia dibentuk selama sekian bulan. Masa gara-gara sedikit emosi suami mengatakan, “Kamu saya cerai”, lalu jatuh talak? Apa dampaknya? Rumah tangga akan berakhir, anak akan mengalami pukulan yang berat, kemudian dua keluarga yang pernah menyatu dan mengasihi akan berubah saling memusuhi.

Banyak kejadian, ketika suami sudah menceraikan istrinya, kemudian diantarkan pulang ke rumah orang tuanya, setelah sekian lama mereka ingin rujuk kembali ada rasa gengsi. Suami malu, istri juga takut diomongkan orang. Lalu datanglah campur tangan orang ketiga yang memanas-manasi, belum lagi ada pria-pria iseng yang memang gemar mencari wanita-wanita yang statusnya janda muda. Ada pepatah mengatakan, biasanya rumput di halaman sendiri kelihatan kuning, kalau rumput tetangga kelihatan hijau. Kalau istri sendiri yang mengadu, mungkin dia tanggapi dengan acuh tak acuh. Tapi kalau istri orang lain yang mengadu, atau perempuan yang sedang sendiri, maka disambut dengan penuh perhatian dan didengarkan seluruh keluh-kesahnya. Ini merupakan salah satu fitnah dalam kehidupan rumah tangga.

Bahwa perceraian tidak langsung jatuh begitu kata cerai diucapkan, ada contohnya pada zaman Rasulullah. Suatu hari, sahabat Umar bin Khathab menjumpai putranya Abdullah menceraikan istrinya pada saat datang bulan. Maka oleh Umar dibawalah anaknya ini ke hadapan Rasulullah. “Ya Rasul, anak saya menceraikan istrinya ketika istrinya datang bulan.”

Rasulullah langsung mengatakan, “Hai Abdullah, tarik istrimu kembali, tunggu sampai dia suci dan belum digauli. Bila dia telah suci dan pada saat itu kamu telah berpikir secara matang ingin menceraikan istrimu, ceraikan dia sebelum kau sentuh dia.”

Inilah ‘iddah yang diperintahkan Allah bagi kaum pria untuk menceraikan istri mereka. Allah berfirman dalam surat ath-Thalâq:
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS. Ath-Thalâq [65]: 1)

‘Iddah dalam bahasa Arab artinya bilangan. Yang dimaksud di sini, bilangan waktu yang Allah tetapkan bagi seorang wanita untuk berada pada masa penantian. Dari mulai suaminya mengucapkan kata cerai, istri menunggu selama beberapa waktu. Bagi wanita yang datang bulan, waktu iddahnya tiga kali suci. Bagi wanita yang tidak datang bulan, iddahnya selama tiga bulan. Bagi wanita yang hamil, iddahnya sampai dia melahirkan anak.

Ketentuan mengenai masa iddah ini dijelaskan dalam surat ath-Thalâq ayat 4:
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. Ath-Thalâq [65]: 4)

Pada masa iddah atau menunggu, wanita tersebut statusnya masih sebagai istri. Dia tidak boleh menikah dengan pria lain, dan dia pun tidak boleh melangkahkan kakinya keluar dari rumah suami. Suami pun tidak dibolehkan mengusir istrinya dari rumah. Jadi mereka masih seperti layaknya suami istri, tinggal dalam satu rumah, hanya saja mereka tidak berhubungan seksual.

Kenapa keduanya masih harus tinggal dalam satu rumah?

Kalau sekarang orang kalau bercerai, cara yang paling sopan ialah, diantarkannya istrinya ke rumah orang tuanya, dan berkata, “Bapak, saya ambil anak bapak dengan baik-baik, saya pulangkan pula dengan baik-baik.”

Seorang bapak, meskipun dia menerima anaknya pulang, pasti dalam hatinya merasa tersinggung. Dia sudah memelihara anak perempuannya sampai menjadi dewasa, lalu diserahkan kepada seorang laki-laki asing. Dia tidak meminta bayaran, asalkan anaknya disayang dan dijaga. Kemudian suatu saat anaknya dikembalikan, pasti perasaannya akan sakit melihat anaknya dibuang oleh suaminya.

Mungkin orang tua akan menghibur anaknya, dan mencarikannya suami yang baru. Pada saat seperti ini, sangat mungkin datang laki-laki kedua yang ingin menggantikan suami pertama. Sementara di pihak suami, ia juga akan mencari istri yang lain. Jika sudah begini, peluang keduanya untuk kembali bersatu akan sangat sulit.

Nah, untuk menghindari hal ini, Allah memerintahkan agar laki-laki tidak boleh mengeluarkan istrinya di saat iddah, dan perempuan juga tidak boleh keluar dari rumah suaminya.

Ini aneh kedengarannya. Namun aturan Allah yang tertuang dalam surat ath-Thalâq ayat 1 ini begitu jelas. Sayang kenapa banyak orang-orang Islam tidak memahaminya. Di ayat itu dikatakan, seorang suami kalau menceraikan istrinya, tunggulah masa suci dan jangan dulu menggauli istrinya. Kenapa harus begitu? Sebab kalau dia menggauli istrinya lalu beberapa hari kemudian menceraikan, bisa jadi istrinya hamil, lalu ketika melahirkan anak, suami tidak mengakui anaknya itu.

Kenapa pula tidak boleh menceraikan saat istrinya datang bulan? Wanita pada saat datang bulan kondisi kejiwaan dan mentalnya sedang sangat labil. Di samping badan tidak enak, emosi juga mudah tersulut. Kalau diceraikan pada saat ini, ditakutkan terjadi sesuatu yang sangat buruk pada dirinya.

Wanita kalau diceraikan pada saat datang bulan, dia hanya bisa menunggu memulai iddah pada saat dia suci. Kalau dia suci dan pernah digauli, dia harus menunggu datang bulan lagi, suci lagi, baru dia memulai iddahnya. Oleh karena itu, pada masa sebelumnya berarti perceraian dianggap sama sekali tidak berlaku.

Bagi suami, dia juga tidak boleh tergesa-gesa memutuskan bercerai. Dengan ketentuan iddah ini, Allah memberikan waktu baginya untuk berpikir, apakah keinginan menceraikan itu merupakan dorongan nafsu sesaat atau merupakan sebuah pilihan yang telah diperhitungkan, baik buruknya dan risikonya.

Masa iddah juga memberikan kesempatan kepada keduanya untuk bersatu kembali. Kalau suami telah menceraikan istrinya, kemudian ingin kembali, dia tinggal mengatakan pada istrinya, “Saya ingin kembali pada kamu.” Selesai. Tidak perlu mahar, tidak perlu penghulu, tidak perlu wali lagi.

Istri tidak boleh pergi dari rumah suaminya pada masa iddah. Suami pun tidak boleh mengusir istrinya, kecuali istrinya terbukti melakukan perbuatan yang keji. Jika istrinya selingkuh, maka untuk memelihara kehormatan, suami boleh mengusir istrinya. Tetapi itu pun harus mubayyinah (terbukti kebenarannya), bukan berdasarkan isu atau gosip.

Allah mengatakan hal ini dengan tegas dan jelas, menunjukkan bahwa perkara ini bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main. Ini bukan pendapat ulama, atau fatwa seorang manusia, melainkan pagar yang telah digariskan oleh Allah. Barang siapa yang melanggar batas-batas yang dibuat oleh Allah, berarti dia menzalimi dirinya sendiri.

Seorang suami tidak pernah tahu bahwa sekarang dia emosi, benci kepada istrinya, ingin memukulnya atau mengusirnya, tidak ingin melihatnya lagi, tapi bisa jadi beberapa saat kemudian berbalik. Ketika emosi tersebut hilang, yang tadinya penuh kebencian lenyap berganti dengan rasa penyesalan dan kasih sayang. Oleh karena itu Allah mengingatkan, bisa jadi sekadang kita benci, tapi beberapa saat kemudian kebencian itu hilang. Allah Mahakuasa untuk mengubah kebencian menjadi kecintaan, kejauhan menjadi kedekatan.

Saya punya pembantu rumah tangga, anak perempuannya sudah menikah. Suatu hari anak perempuannya pulang sambil menangis menggendong anaknya. Dia mengadu pada ibunya bahwa suaminya mabuk, mengamuk ke sana kemari sambil membawa celurit. Mendengar pengaduan anaknya, ibunya berkata, “Dari dulu juga saya sudah bilang jangan menikah dengan laki-laki itu, saya tidak ridha kamu balik kepadanya.”

Lalu si anak menambahkan, “Disuruh juga saya tidak mau kembali pada laki-laki seperti itu.”

Waktu dia datang itu sekitar jam lima sore. Saya mendengarkan saya, tapi saya tidak pernah mempedulikan perempuan yang marah atau bicara dalam suasana emosi.

Tahu-tahu jam 8 malam suaminya datang. Dia bicara kepada saya. “Pak Ustadz, saya ingin bertemu dengan istri saya, boleh atau tidak?”

Saat itu ibunya datang. Dengan bertolak pinggang dia memarahi laki-laki itu, bahkan sampai mengumpat dengan kasar. Tapi tiba-tiba anaknya datang, dan dia berkata kepada ibunya, “Ibu tidak boleh begitu. Saya tidak pernah bilang kalau saya tidak mau balik.”

Padahal sebelumnya, saat emosi dia bilang seperti itu. Akhirnya dia menggandeng tangan suaminya dan pulang kembali ke rumah mereka. Ibu itu lupa, bagaimanapun, setelah menikah, seorang perempuan lebih berat kepada suaminya dibanding kepada ibunya. Jika seorang anak mendengar ibunya menjelek-jelekkan suaminya, biasanya dia akan tersinggung.

Jadi, Allah Mahakuasa membalikkan kebencian menjadi kasih sayang. Kita tidak pernah tahu kapan perubahan itu terjadi, tapi sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, baik suami maupun istri tidak boleh memutuskan sesuatu dalam kondisi emosi, karena bisa jadi beberapa saat kemudian akan menyesal.

Hikmah dari tidak boleh keluarnya istri dari rumah suaminya ialah agar masing-masing saling introspeksi, dan ketika ingin balik, caranya mudah. Allah menetapkan agar suami menempatkan istrinya saat masa iddah di tempat yang baik, memberikan kepada istrinya kamar yang layak seperti sebelumnya. Bahkan kalau dalam rumah itu hanya ada satu kamar, suami harus mengalah untuk memberikan kamar satu-satunya itu buat istrinya, sedangkan dia harus mencari kamar lain.

Allah menetapkan dalam ayat keenam
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. Ath-Thalâq [65]: 6)

Jika saat diceraikan itu istrinya sedang hamil, misalnya hamil satu bulan, berarti masa iddahnya delapan bulan sampai dia melahirkan. Selama delapan bulan itu, suami wajib memenuhi nafkah istrinya seperti biasa. Begitu anaknya lahir, mereka resmi bercerai. Tapi suami masih punya kewajiban memberi upah kepada bekas istrinya jika anak itu disusui oleh bekas istrinya.

Hikmah dari masa iddah adalah untuk memberikan kepada kedua pihak kesempatan untuk memikirkan kembali keputusan mereka. Jika pada saat itu keduanya ingin rujuk, rujuklah sebelum waktunya habis. Jika ingin tetap bercerai, tunggulah sampai masa iddah hampir habis, lalu panggillah dua orang saksi laki-laki yang adil untuk mempersaksikan bahwa keduanya memang sudah bercerai.

Allah berfirman di ayat kedua:
Artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. (QS. Ath-Thalâq [65]: 2)

Begitulah tuntunan dalam Islam mengenai perceraian. Semua itu dijelaskan dengan terang dalam al-Quran surat ath-Thalâq. Ini adalah hukum yang tegas dari Allah dan tidak ada keraguan di dalamnya. Dan sesungguhnya ini merupakan kabar gembira bagi kehidupan rumah tangga kita.

Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Swt. Oleh sebab itu, langkah-langkah dalam perceraian pun tidak semudah itu dilakukan. Allah berjanji membuka jalan keluar bagi setiap orang yang bertakwa. Maka kehidupan yang didasari keimanan dan ketakwaan, bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, dapat diselesaikan dengan cara yang bijaksana dan baik.

Ayat-ayat di atas sangat jelas, tidak ada sedikit pun perbedaan dalam pemahaman. Pernikahan dengan dua orang saksi, perceraian pun dengan dua orang saksi. Saat rujuk pun diupayakan dengan baik. Ini merupakan bimbingan dan adab yang langsung ditangani oleh Allah Swt. agar kehidupan rumah tangga tidak menjadi permainan perasaan dan emosi belaka, yang menimbukan akibat fatal dalam masyarakat, karena rumah tangga merupakan basis bagi kehidupan bermasyarakat.

Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

Sumber: Masjid Sunda Kelapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar